
Ada bermacam-macam jenis Pajak Penghasilan (PPh) tergantung dari objek dan subjek yang dikenakan.
Berikut panduan pajak penghasilan untuk memudahkan Anda mengenal jenisnya hingga tarif pajaknya. Mekari Klikpajak akan mengulasnya untuk Anda.
Apa itu PPh atau Pajak Penghasilan?
Definisi Pajak Penghasilan atau PPh adalah pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri.
Dasar hukum PPh adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. UU ini mengalami empat kali perubahan, yakni:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan
- Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan.
Selain itu, pengaturan terbaru tentang pajak penghasilan juga dalam UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 dan melalui UU HPP Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Kategori Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan dibedakan menjadi beberapa kategori yakni:
- PPh yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi, yang terbagi atas pegawai serta bukan pegawai maupun pengusaha
- PPh yang dibebankan atas penghasilan wajib pajak badan atau perusahaan, hingga objek yang dikenakan PPh itu sendiri
Apa Saja Objek Pajak Penghasilan?
Secara garis besar, objek pajak penghasilan di sini dikelompokkan menjadi tiga kategori, yang akan mengarah pada jenis-jenis PPh yang menjadi kewajiban wajib pajak, yakni:
A. Penghasilan sebagai Objek Pajak
Objek PPh dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dirincikan sebagai berikut:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang industri, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
3. Laba usaha
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
- Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun
- Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk industri, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
- Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
14. Premi asuransi
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
17. Penghasilan dari usaha berbasis industri
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan
19. Surplus Bank Indonesia.
B. Penghasilan yang Dikenakan PPh Final
Sedangkan penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilan bersifat final adalah:
- Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi
- Penghasilan berupa hadiah undian
- Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi industri yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
- Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan
- Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
B. Siapa Subjek Pajak Penghasilan?
Subjek PPh adalah orang atau pihak yang bertanggungjawab atas pajak penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak maupun bagian tahun pajak.
Subjek pajak penghasilan artinya orang yang harus membayar pajak penghasilan dan disebut sebagai Wajib Pajak (WP).
Status sebagai WP ini ditetapkan dengan cara yang bersangkutan mendaftarkan diri terlebih dahulu ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pendaftaran diri sebagai WP dilakukan di KPP tersebut harus sesuai dengan wilayah domisili yang bersangkutan.
Merujuk pada UU PPh, subjek pajak penghasilan terbagi menjadi beberapa jenis, di antaranya:
1. Subjek PPh Orang Pribadi
Wajib Pajak Orang pribadi adalah subjek pajak penghasilan bagi yang mencakup orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Subjek PPh Orang Pribadi (OP) ini terdiri terdiri dari:
2. Subjek PPh OP Dalam Negeri
Subjek PPh OP Dalam Negeri ini berlaku bagi yang telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Besar penghasilan tidak kena pajak selengkapnya baca artikel Besar PTKP Terbaru.
3. Subjek PPh OP Luar Negeri
Subjek PPh OP Luar Negeri ini berlaku bagi yang menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia maupun melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
4. Subjek PPh Warisan yang belum terbagi
Apa maksud dari warisan yang belum terbagi ini sebagai subjek pajak?
Masih merujuk pada UU PPh No. 36/2008, yang dimaksud warisan belum terbagi sebagai subjek pajak PPh di sini agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal warisan tersebut tetap dilaksanakan.
“Artinya, warisan yang di tinggalkan oleh subjek pajak dalam negeri ini mengikuti status pewaris. Katika warisan yang di tinggalkan oleh pewaris tersebut belum dibagikan kepada ahli waris, bisa saja memberikan penghasilan meski pewaris tersebut telah meninggal.”
Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Jika warisan itu telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Sedangkan warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, maka tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti.
Kenapa? Karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
5. Subjek PPh Badan
Badan adalah subjek pajak yang merupakan orang dan/atau modal sebagai satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Badan bisa berupa Perseroan Terbatas (PT), perseroan komanditer (CV), perseroan lainnya, firma, kongsi, koperasi, dan lainnya.
Subjek PPh Badan adalah sebagai subjek pajak penghasilan ini terdiri dari:
- Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
- Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
6. Subjek PPh Badan Usaha Tetap (BUT)
Subjek PPh Bentuk Usaha Tetap adalah subjek pajak penghasilan yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak padan badan dalam negeri.
BUT ini merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
BUT wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk mendapatkan NPWP. Kemudian menyampaikan SPT sebagai sarana pelaporan besarnya pajak terutang dalam satu tahun pajak.
Selain itu, pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif pajak BUT umum seperti yang berlaku pada subjek pajak badan dalam negeri.
Jenis Pajak Penghasilan dan Tarif Pajaknya
Pajak penghasilan ini terbagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan objek dan subjek yang dikenakan PPh, di antaranya:
A. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 21
Definisi PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri.
1. Objek PPh Pasal 21
Objek pajak penghasilan pasal 21 di antaranya:
- Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur
- Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima industri secara teratur berupa uang industri atau penghasilan sejenisnya
- Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan industri yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat industri, tunjangan hari tua
- Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah industri atau upah yang dibayarkan secara bulanan
- Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
- Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
Untuk mengetahui apa saja objek pajak yang tidak dikenakan PPh 21, selengkapnya baca artikel Inilah Subjek dan Objek Pajak yang Dikecualikan dari PPh.
2. Subjek yang dikenakan PPh 21
Jenis PPh 21 ini dikenakan pada wajib orang pribadi yang menerima penghasilan seperti penjelasan definisi PPh tersebut.
Kategori subjek yang dikenakan PPh 21 ini seperti pegawai, bukan pegawai, penerima pensiun maupun pesangon, anggota dewan komisaris, mantan pekerja dan peserta kegiatan.
Wajib pajak kategori bukan pegawai adalah:
- Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari akuntan, arsitek, pengacara, dokter, konsultan, aktuaris, penilai, dan notaris.
- Bintang film, pemain musik, penyanyi, pembawa acara, bintang iklan, bintang sinetron, peragawan, kru film, sutradara, foto model, pelukis, pemain drama, penari, pemahat, dan seniman lainnya.
- Olahragawan, pelatih, penyuluh, pengajar, penasihat, moderator, dan penceramah.
- Peneliti, pengarang, dan penerjemah.
- Penyedia jasa komputer dan sistem aplikasi, fotografi, teknik, telekomunikasi, ekonomi, elektronika, sosial dan penyedia jasa kepanitiaan.
- Petugas dinas luar asuransi, direct selling, distributor perusahaan multi-level marketing, petugas penjaja barang dagangan.
- Dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap perusahaan atau anggota dewan komisaris. Penerima penghasilan atas keikutsertaan dalam kegiatan seperti peserta perlombaan dan seni dalam segala bidang termasuk perlombaan olahraga,ilmu pengetahuan, teknologi, seni, ketangkasan dan jenis perlombaan lainnya.
- Peserta pertemuan, sidang, konferensi, kunjungan kerja, dan peserta rapat. Peserta pendidikan dan pelatihan, peserta kegiatan lainnya.
- Mantan pegawai.
3. Subjek Pemotong PPh 21
Namun jenis PPh yang dibebankan atau dikenakan wajib pajak orang pribadi tersebut tidak dibayarkan sendiri oleh yang bersangkutan.
Akan tetapi jenis PPh 21 ini dipotong atau dipungut oleh perusahan/pemberi kerja melalui pemotongan pajak PPh Pasal 21.
Pihak pemotong/perusahaan/pemberi kerja kemudian menyetorkan atau membayarkan PPh 21 yang dipotong dari wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan kena pajak tersebut ke kas negara.
Berikutnya, sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 21, akan memperoleh bukti pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak yang memotong penghasilan tersebut.
Penjelasan selengkapnya mengenai Pajak Penghasilan Pasal 21 dan tarifnya, baca artikel: PPh 21 Terbaru dan Contoh Perhitungan Tarif TER.
B. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 22
Definisi PPh Pasal 22 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor.
Objek PPh Pasal 22 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 92/PMK.03/2019.
Subjek yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan pada wajib pajak badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor.
Sedangkan subjek yang memotong PPh Pasal 22 ini terbagi menjadi dua kategori utama, yakni WP Badan pemungut saat pembelian dan WP Badan pemungut saat penjualan.
Penjelasan selengkapnya mengenai pajak penghasilan pasal 22, baca artikel: PPh Pasal 22: Tarif, Cara Hitung dan Lapor SPT Masa PPh 22.
C. Pajak penghasilan Jenis PPh Pasal 23
Definisi jenis PPh Pasal 23 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Selengkapnya mengenai pengenaan pajak penghasilan pasal 23, baca artikel: Tarif PPh Pasal 23 Jasa dan Contoh Perhitungannya.
D. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final
Definisi PPh Final Pasal 4 ayat 2 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas beberapa jenis penghasilan yang didapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final serta tidak dapat dikreditkan dengan pajak penghasilan terutang.
Istilah ‘Final’ di sini artinya pemotongan pajaknya dilakukan hanya sekali dalam sebuah masa pajak.
Jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final ini dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final.
Sedangkan pemungutan jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu.
Pihak pemungut ini terdiri dari wajib pajak badan yang ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2) dan wajib pajak orang pribadi yang merupakan pemungut PPh pasal 4 ayat (2) tanpa ditunjuk, di antaranya:
1. Wajib Pajak Badan pemungut PPh 4 (2)
- Penerbit obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk
- Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli
- Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi
- Penyelenggara undian
- Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk sekali pembayar dividen
- Pengusaha jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak
2. Wajib Pajak Orang Pribadi pemungut PPh 4 (2)
Sebagai pemungut, wajib pajak orang Pribadi tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), di antaranya:
- Disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak
- Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar untuk objek pajak pengalihan hak atas tanah/bangunan
Wajib pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong jenis PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:
- Akuntan, arsitek, notaris, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas
- Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, yang telah terdaftar sebagai wajib pajak dalam negeri
Alur pemotongan PPh 4 ayat (2)
Pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan.
Namun jika WP menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut.
Apabila WP menerima penghasilan yang merupakan objek jenis PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka WP tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.
Penjelasan selengkapnya mengenai pajak penghasilan pasal 4 (2), baca artikel: Tarif PPh Pasal 4 ayat 2dan Objek Pajaknya.
E. Pajak Penghasilan Jenis PPh Final PP 23/2018
Jenis PPh Final ini berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Namun regulasi ini diubah dengan PP No. 55 Tahun 2022 dengan ketentuan omzet bruto hingga Rp500 juta setahun tidak dikenakan PPh.
Penjelasan selengkapnya mengenai PPh Final PP 23/2018 atau PP 55/2022, baca artikel: Panduan Pajak UMKM/UKM: Tarif dan Cara Menghitung.
F. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 15
Definisi PPh Pasal 15 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atau dipungut dari wajib pajak yang bergerak pada industri-industri tertentu yang ditetapkan dalam UU PPh.
Penjelasan selengkapnya mengenai pajak penghasilan pasal 15, baca artikel: PPh Pasal 15: Objek, Subjek, Tarif dan Contoh Perhitungan.
G. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 19
Dalam UU PPh No. 36/2008, pada Pasal 19 disebutkan:
(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
Atas dasar itulah, diterbitkannya PMK No. 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan.
Artinya, perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
1. Objek PPh 19 atau objek penilaian kembali aktiva
Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:
- Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan
- Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak
2. Subjek PPh 19
Jenis PPh Pasal 19 ini dikenakan pada wajib pajak badan dalam negeri dan BUT, tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat.
H. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 24
Definisi PPh Pasal 24 yakni pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri, di mana pembayaran pajaknya bisa dikreditkan.
Sehingga jumlah pajak yang dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah dibayarkan di luar negeri tersebut. Dengan demikian tidak terkena pajak berganda.
Jenis PPh 24 ini dikenakan pada wajib pajak yang memiliki sumber penghasilan sebagai objek PPh Pasal 24.
Pihak atau subjek yang memotong pajak penghasilan jenis PPh Pasal 24 adalah wajib pajak badan maupun orang pribadi pemberi penghasilan atau dari pengalihan harta/aset di luar negeri.
Penjelasan selengkapnya tentang kredit pajak luar negeri, baca artikel: Panduan Pajak Penghasilan PPh Pasal 24.
I. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 25
Definisi PPh Pasal 25 yakni pajak yang dibayar secara angsuran setiap bulannya dalam tahun pajak berjalan dengan tujuan untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun.
1. Objek PPh Pasal 25
Objek yang dikenakan pajak penghasilan pasal 25 ini adalah suatu penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usaha yang dilakukan wajib pajak.
2. Subjek yang dikenakan PPh 25
Jenis PPh 25 ini dikenakan pada:
- Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha, seperti sebagai pedagang pengecer atau penyerahan jasa
- Wajib pajak badan yang melakukan suatu kegiatan usaha, seperti sebagai pedagang pengecer atau penyerahan jasa
3. Subjek pemotong PPh 25
Pajak penghasilan jenis PPh Pasal 25 ini tidak ada pihak yang memungut atau pemotongnya, akan tetapi wajib pajak badan atau wajib pajak pribadi menyetor sendiri kewajiban PPh 25 ini dan tidak bisa diwakilkan.
Penjelasan selengkapnya mengenai pajak penghasilan pasal 25, baca artikel: PPh Pasal 25: Tarif, Contoh, Cara Bayar Angsuran Pajak.
J. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 26
Definisi pajak penghasilan pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain BUT dari pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, dan perwakilan perusahaan luar negeri.
Penjelasan selengkapnya tentang pajak penghasilan pasal 26, baca artikel: Objek, Subjek dan Tarif PPh Pasal 26.
K. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 29
Definisi PPh Pasal 29 yakni pajak penghasilan atau PPh Kurang Bayar yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (jenis PPh Pasal 21, jenis PPh 22, jenis PPh 23, jenis PPh 24) dan PPh Pasal 25.
Aturan melunasi kekurangan pembayaran pajak terutang
Wajib pajak wajib melunasi kurang bayar pajak yang terutang tersebut sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.
Jika tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak itu wajib dilunasi paling lambat 31 Maret bagi wajib pajak orang pribadi atau 30 April bagi wajib pajak badan setelah tahun pajak berakhir.
Jika tahun buku tidak dengan tahun kalender, misal dimulai dari 1 Juli hingga 30 Juni tahun depan, maka kekurangan wajib pajak harus dilunasi paling lambat 30 September bagi wajib pajak orang pribadi atau 31 Oktober bagi wajib pajak badan.
Penjelasan selengkapnya tentang pajak penghasilan pasal 29, baca artikel: PPh Pasal 29: Pengertian dan Cara Hitung.
L. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 21/26
Definisi PPh Pasal 21/26 yakni pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
1. Objek PPh 21/26
Sesuai dengan definisi di atas, maka yang menjadi objek PPh 21/26 adalah:
- Gaji
- Honorarium
- Upah
- Tunjangan
- Pembayaran lain dengan dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan lain
Apa perbedaan PPh 21 dan PPh 26?
Perbedaan PPh pasal 21 dan PPh Pasal 26 adalah terletak pada subjek yang dipotong, yakni jika PPh 21 diperuntukkan bagi WP Pribadi dalam negeri, sedangkan PPh 26 dikenakan pada WP Pribadi luar negeri (WNA/Warga Negara Asing).
2. Subjek yang dikenakan PPh 21/26
Sama seperti penjelasan pada pengertian di atas, maka subjek PPh 21/26 adalah wajib pajak pribadi karyawan/pegawai maupun PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang bekerja diperusahaan swatsa/instansi pemerintah maupun pekerja bebas atau pengusaha.
3. Subjek pemotong PPh Pasal 21/26
Pihak pemotong atau yang memungut pajak penghasilan pasal 21/26 ini sesuai UU PPh terkait jenis PPh 21 dan PPh pasal 26 ini sama seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Baca Juga: Bagaimana Cara Membuat Bukti Potong PPh 21 Karyawan?
M. PPh Pasal 23/26
Pengertian dari jenis PPh Pasal 23/26 adalah pajak penghasilan yang berasal dari transaksi badan usaha Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun Non PKP dengan perusahaan terkait jenis transaksi tertentu sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Terkait objek dan subjek yang dikenakan serta pemotong PPh Pasal 23/26 sesuai UU PPh untuk jenis PPh Pasal 23 dan PPh pasal 26 ini sama seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Berapa Tarif Pajak Penghasilan?
Setiap jenis-jenis PPh ditetapkan besar tarif pajak berbeda-berbeda sesuai ketentuan yang berlaku dalam UU PPh.
Namun secara umum besar tarif pajak yang dikenakan bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP lebih besar dibanding yang punya NPWP.
Untuk WP yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), dikenakan tarif 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP, yakni:
- Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 20% lebih tinggi dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
- Ketentuan di atas diterapkan untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
- Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, selisih pengenaan tarif sebesar 20% lebih tinggi tersebut diperhitungkan untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.
Sedangkan tarif PPh 19 sebesar:
- Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan PPh bersifat final sebesar = 10%
- Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus PPh yang terutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 bulan sesuai ketentuan
Buat Bukti Potong dan Lapor SPT PPh Wajib di e-Bupot Unifikasi
Dari berbagai jenis pajak penghasilan di atas, ada beberapa PPh yang pembuatan bukti potong pajaknya serta pelaporan SPT Masa PPh-nya harus melalui e-Bupot Unifikasi.
Dari beberapa jenis PPh di atas, pembuatan bukti potong dan penyampaian SPT Masa PPh yang harus menggunakan eBupot Unifikasi adalah:
- PPh Pasal 23
- PPh Pasal 26
- PPh Pasal 22
- PPh Pasal 15
- PPh Pasal 4 ayat (2)
Bagaimana cara kerja eBupot Unifikasi ini, gambarannya dapat dilihat pada artikel Pentingnya e-Bupot Unifikasi untuk Perusahaan
Jatuh Tempo Pembayaran dan Pelaporan Pajak
Berikut adalah batas waktu pembayaran pajak penghasilan, penyetoran pajak yang dipungut dan penyampaitan SPT Masa/Tahunan Pajak Penghasilan:
A. Penyampain SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan
1. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan adalah paling lama 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak:
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan apabila dalam satu tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi PTKP.
2. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan
Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum SPT disampaikan.
B. Penyampaian SPT Masa
a. Batas waktu penyampaian SPT Masa adalah paling lama 20 hari setelah akhir Tahun Pajak:
b. Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
c. Tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporan pajak untuk SPT Masa, yaitu:
- Jika tanggal jatuh tempo pembayaran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
- Jika tanggal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
- Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Batas waktu pembayaran, penyetoran, atau pelaporan pajak untuk SPT Masa, selengkapnya dalam tabel berikut ini;
No | Jenis Pajak | Batas Pembayaran (Paling Lambat) | Batas Pelaporan |
(Pasal 2 PMK 242/PMK.03/2014) | UU Bidang Perpajakan | ||
1 | PPh Pasal 4 (2) Setor Sendiri | Tgl. 15 bulan berikutnya | Tgl. 20 bulan berikutnya |
2 | PPh Pasal 4 (2) Pemotongan | Tgl. 10 bulan berikutnya | Tgl. 20 bulan berikutnya |
3 | PPh Pasal 15 Setor Sendiri | Tgl. 15 bulan berikutnya | Tgl. 20 bulan berikutnya |
4 | PPh Pasal 15 Pemotongan | Tgl. 10 bulan berikutnya | Tgl. 20 bulan berikutnya |
5 | PPh Pasal 21 | Tgl. 10 bulan berikutnya | Tgl. 20 bulan berikutnya |
6 | PPh Pasal 23/26 | Tgl. 10 bulan berikutnya | Tgl. 20 bulan berikutnya |
7 | PPh Pasal 25 | Tgl. 15 bulan berikutnya | Tgl. 20 bulan berikutnya |
8 | PPh 22 Impor Setor Sendiri (dilunasi bersama dengan Bea Masuk, PPN, PPnBM) | Saat penyelesaian dokumen PIB | – |
9 | PPh Pasal 22 Impor yang Pemungutan oleh Bea Cukai | 1 hari kerja berikutnya | Hari kerja terakhir minggu berikutnya |
10 | PPh Pasal 22 Pemungutan oleh Bendaharawan | Hari yang sama dengan pembayaran atas penyerahan barang | 14 hari setelah masa pajak berakhir |
11 | PPh Pasal 22 Migas | Tgl. 10 bulan berikutnya | Tgl. 20 bulan berikutnya |
12 | PPh Pasal 22 Pemungutan oleh WP Badan Tertentu | Tgl. 10 bulan berikutnya | Tgl. 20 bulan berikutnya |
13 | PPN & PPnBM | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir & sebelum SPT Masa PPN disampaikan | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
14 | PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri | Tgl. 15 bulan berikutnya | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
15 | PPN atas Kegiatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari Luar Daerah Pabean | Tgl. 15 bulan berikutnya setelah saat terutang pajak | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
16 | PPN & PPnBM Pemungutan Bendaharawan | Tgl. 7 bulan berikutnya | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
17 | PPN dan/atau PPnBM Pemungutan oleh Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN | Harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada PKP Rekanan Pemerintah melalui KPPN | – |
18 | PPN & PPnBM Pemungutan Selain Bendaharawan | Tgl. 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
19 | PPh 25 WP Kriteria Tertentu yang dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa (Pasal 3 ayat (3B) UU KUP) | Harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir | 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir |
20 | Pembayaran masa selain PPh 25 WP Kriteria tertentu yang dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa (Pasal 3 ayat (3B) UU KUP) | Harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak | 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir |
d. Ketentuan terkait SPT Masa PPh Pasal 25:
1. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah:
- WP OP yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas
- WP OP yang dalam satu tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi PTKP (kepada WP ini juga dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan)
2. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi dengan sistem pembayaran secara online dan Surat Setoran Pajak (SSP)-nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka SPT Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke KPP sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP.
C. Penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
1. Batas waktu penyampaian SPT-nya adalah paling lama 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak
- Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
- Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan adalah WP OP yang dalam satu tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
2. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum SPT disampaikan.
Agar lebih mudah menghitung, membayar dan melaporkan SPT pajak, gunakan aplikasi pajak online dari Mekari Klikpajak.
Infografis Jenis-Jenis Pajak Penghasilan (PPh)
Kesimpulan
Pajak Penghasilan meupakan pajak yang dikenakan atas suatu penghasilan yang diperoleh wajib pajak orang pribadi maupun badan atau perusahaan.
Jenis pajak penghasilan terbagi menjadi beberapa macam tergantung objek pajak dan subjek pajaknya.
Tarif pajak penghasilan orang pribadi maupun badan diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 dan regulasi perubahannya dalam UU HPP dan peraturan pelaksananya.
Sebagai wajib pajak yang memperoleh penghasilan ataupun pihak yang melakukan pemotongan pajak, wajib menyetorkanya ke kas negara dan melaporkannya ke DJP.
Agar lebih mudah menghitung, membayar dan melaporkan pajak, Anda dapat menggunakan aplikasi pajak online Mekari Klikpajak yang memiliki fitur lengkap untuk mengelola administrasi pajak bisnis.
Referensi
Database Peraturan JDIH BPK. “Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)“
Database Peraturan JDIH BPK. “Undang-Undang (UU) No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)“
Database Peraturan JDIH BPK. “Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)“