
Rasio pajak merupakan salah satu metrik yang digunakan untuk mengukur perekonomian suatu negara. Seperti apa perkembangan tax ratio di Indonesia?
Simak penjelasan tentang pentingnya rasio pajak bagi kinerja negara dan perkembangannya di Indonesia di bawah ini, Mekari Klikpajak akan mengulasnya untuk Anda.
Apa itu Rasio Pajak (Tax Ratio)?
Jenis-Jenis Pajak yang Menjadi Komponen Tax Ratio
Merujuk Buku Belanja dan Pendapatan Pusat Kajian Anggaran, komponen untuk menghitung tax ratio terbagi dua, yakni berdasarkan rasio pajak dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Tax ratio dalam arti sempit yang menjadi komponen perhitungan rasio pajak, terdiri dari perpajakan yang dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat (terdiri dari PPh, PPN, PPnBM, Bea Meterai dan PBB).
Sedangkan tax ratio dalam arti luas, terdiri dari Pajak Pemerintah Pusat, PNBP SDA Migas, serta PNBP Minerba.
Berikut klasifikasi pajak yang menjadi komponen perpajakan dalam penghitungan tax ratio:
1. Pajak Pemerintahan Pusat
- Pajak Penghasilan (PPh)
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
- Penerimaan Cukai
- Penerimaan Pajak lainnya
- Bea Masuk (BM)
- Bea Keluar (BK)
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
- PNBP Sumber Daya Alam (SDA) Migas
- PNBP Mineral dan Batubara (Minerba)
Manfaat Rasio Pajak
Mengingat peran tax ratio terhadap perekonomian dan kemampuan suatu negara mengelola anggaran, maka secara garis besar rasio pajak bermanfaat untuk:
- Mengukur kinerja penerimaan pajak
- Membandingkan kinerja perpajakan antar negara
- Menganalisis efektivitas sistem perpajakan
- Mengidentifikasi potensi masalah dalam sistem perpajakan
- Membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan perpajakan
Baca Juga: Debt to Equity Ratio dan Konsenkuensi pada Pajak Penghasilan Badan
Rumus Perhitungan Rasio Pajak
Sebagai dasar pemahaman bagaimana rasio pajak itu terbentuk, berikut formula tax ratio untuk menghitung berapa besar rasio pajak yang sesuai dengan kebutuhan anggaran dan belanja negara:
Mengingat Indonesia menerapkan pendefinisian tax ratio dalam arti sempit dan arti luas, maka perumusan sebagai berikut:
- Rumus tax ratio dalam arti sempit: Pajak Pemerintah Pusat dibandingkan PDB.
- Rumus tax ratio dalam arti luas: Pajak Pemerintah Pusat, Pajak Daerah, dan PNBP SDA Migas dibandingkan PDB.
Contoh:
Pada 2024 Negara AAA memiliki penerimaan perpajakan sebesar Rp980,52 triliun, penerimaan negara dari Sumber Daya Alam (SDA) Migas sebesar Rp205,8 triliun, penerimaan pajak daerah sebesar Rp81,6 triliun, PDB sebesar Rp8.241,90 triliun.
Maka perhitungan rasio pajak dapat dihitung berdasarkan komponen penerimaan negara yang digunakan:
- Tax Ratio berdasarkan penerimaan perpajakan dengan PDB
= (Penerimaan Perpajakan : PDB) x 100%
= Rp980,52 triliun : Rp8.241,90 triliun x 100%
= Rp0,1189 triliun x 100%
= 11,90% (tax ratio)
- Tax Ratio berdasarkan penerimaan perpajakan dengan SDA Migas
= (Penerimaan Perpajakan + SDA Migas) : PDB x 100%
= (Rp980,52 triliun + Rp205,8 triliun) : Rp8.241,90 x 100%
= Rp1.186,32 : Rp8.241,90 x 100%
= 14,39% (tax ratio)
- Tax Ratio berdasarkan dalam arti luas
= (Penerimaan Perpajakan + SDA Migas + Penerimaan Pajak Daerah) : PDB x 100%
= (Rp980,52 triliun + Rp205,8 triliun + Rp81,6 triliun) : Rp8.241,90 x 100%
= Rp1.267,92 triliun : Rp8.241,90 x 100%
= 15,38% (tax ratio)
Perkembangan Rasio Pajak di Indonesia
Merujuk data Bank Dunia (The World Bank), rasio pajak Indonesia terus mengalami penurunan sejak 4 dekade yang lalu.
Dalam dokumen rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) disebutkan, rasio pajak pada 2025 diperkirakan sebesar 10,70-11,20% dari PDB dan pada 2045 ditargetkan mencapai 18,0% – 20,0% dari PDB.
Berdasarkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), rasio pajak 2023 mencapai 10,31% dari PDB.
Dari tax ratio tersebut, realisasi penerimaan perpajakan 2023 mencapai Rp2.155,4 triliun dengan rincian penerimaan dari pajak sebesar Rp1.869,2 triliun, penerimaan dari kepabeanan dan cukai senilai Rp286,2 triliun.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam pemaparan realisasi APBN 2023 menyebutkan kinerja positif penerimaan pajak sejalan dengan aktivitas ekonomi yang menguat dan faktor reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah.
“Kinerja positif ditopang oleh kuatnya aktivitas ekonomi domestik, yaitu pemulihan yang terus berlanjut dan reformasi perpajakan yang terus dilakukan sejak 2021,” tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Kemudian dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF), rasio pajak 2024 ditargetkan 10,12% dan target tax ratio 2025 sebesar 10,09-10,29% dari PDB.
Berikut tabel perkembangan rasio pajak di Indonesia dari tahun ke tahun berdasarkan data Bank Dunia (The World Bank):
Rasio Pajak Indonesia Dibanding Negara-Negara ASEAN
Berikut perbandingan tax ratio negara-negara ASEAN tahun 2022 berdasarkan data Bank Dunia (The World Bank):
- Brunei Darussalam = 1,30%
- Indonesia = 10,41%
- Kamboja = 12,04%
- Laos = 9,46%
- Malaysia = 11,4%
- Myanmar = 5,78%
- Filipina = 14,6%
- Singapura = 12,96%
- Thailand = 17,18%
- Vietnam = 16,21%
Baca Juga: Pajak Penghasilan (PPh) Badan: Tarif dan Contoh Hitung
Faktor dan Upaya Meningkatkan Rasio Pajak
Secara umum faktor yang memengaruhi tax ratio suatu negara ialah kondisi perekonomian dan berbagai kebijakan yang diterapkan.
Upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan rasio pajak terus dilakukan seperti melalui regulasi, reformasi perpajakan, dan penerapan teknologi.
Berikut beberapa upaya pemerintah untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia:
- Menerbitkan regulasi baru UU Cipta Kerja dan UU HPP
- Implementasi sistem administrasi perpajakan (Core Tax System/PSIAP)
- Pemberian insentif fiskal
- Meningkatkan kepatuhan pajak
- Implementasi NIK-NPWP
- Kerja sama internasional dalam hal pertukaran data dan informasi perpajakan (AEoI)
Tantangan Meningkatkan Tax Ratio Indonesia
Dibanding negara-negara di ASEAN, tax ratio Indonesia relatif lebih rendah, salah satunya dinilai karena perbedaan perhitungan/rumus yang digunakan versi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD/Organisation for Economic Co-operation and Development), GFSM atau IMF, dan definisi oleh Pemerintah Indonesia (tax ratio arti sempit dan arti luas).
Komponen pajak menurut OECD yakni kontribusi sosial dimasukkan dalam perhitungan pajak yang cenderung pada kepentingan ekonomi secara makro. Hal ini membuat nilai rasio pajak menjadi lebih tinggi.
Sedangkan komponen pajak berdasarkan GFSM 2001, kontribusi sosial dimasukkan dalam klasifikasi pendapatan lainnya (tidak termasuk pajak). Sehingga hasilnya sesuai standarisasi statistik keuangan suatu negara.
Terlepas dari pendefinisian dalam rumusan tax ratio versi OECD dan GFSM 2001, pemerintah sendiri menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia, sebagai panduan penghitungan fiskal.
Secara umum ada beberapa faktor yang menjadi tantangan dalam meningkatkan rasio pajak di Indonesia, di antaranya:
- Data dan informasi masih perlu ditingkatkan
- Kesadaran pajak masih rendah
- Kompleksitas sistem administrasi perpajakan
- Tingginya tingkat penghindaran pajak (tax avoidance)
- Kepatuhan wajib pajak masih rendah
- Masih ada sektor yang kontribusinya terhadap ekonomi tinggi namun kontribusi terhadap pajak masih rendah
Kesimpulan
Rasio pajak atau tax ratio adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto yang digunakan sebagai alat ukur untuk menilai kinerja penerimaan pajak suatu negara.
Komponen penerimaan pajak untuk menghitung rasio pajak Indonesia yakni penerimaan pajak pemerintah pusat, PNBP Minyak dan Gas, dan PNBP Pertambangan Umum.
Sedangkan pajak daerah tidak menjadi komponen perhitungan tax ratio. Hal ini sebagaimana perumusan rasio pajak dalam arti sempit dan arti luas.
Rasio pajak menjadi indikator penting bagi perekonomian suatu negara. Kendati sudah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkannya, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah dibanding negara-negara lain.
Mengacu pada data Bank Dunia, realisasi tax ratio Indonesia dalam lima dekade terakhir terus mengalami penurunan sejak tahun 1982.
Berbagai kebijakan fiskal dan reformasi perpajakan dilakukan pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara dari pajak untuk menaikkan rasio pajak.
Referensi
Kemenkeu Learning Center. “Produk Domestik Bruto (PDB)”
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. “Perbandingan Komponen dan Struktur Pajak OECD dan Government Finance Statistic Manual dan Pengaruhnya atas Pendefinisian Tax Ratio di Indonesia’
Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI. “Buku Belanja & Pendapatan Pusat Kajian Anggaran”
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. “Perbandingan Komponen dan Struktur Pajak OECD dan Pengaruhnya atas Pendefinisian Tax Ratio di Indonesia”
Data World Bank. “Tax Revenue of GDP Indonesia”
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan. “Indonesia Terpilih Menjadi Anggota GFS Advisory Committee IMF”
International Monetary Fund. “Government Finance Statistics Manuals and Guides”
Database Peraturan JDIH BPK. “Peraturan Menteri Keuangan Nomor 275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia”
Indonesia 2045.go.id. “Dokumen Rancangan Akhir RPJN 2025-2045 Kementerian PPN/Bappenas”
Pusat Analisis Anggaran dan Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Keahlian Setjen DPR RI. “Buletin APBN”
Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian Setjen DPR RI. “Penurunan Target Rasio Perpajakan dalam RAPBN 2025”
Media Kementerian Keuangan. “Laporan Utama Kinerja APBN 2023”
YouTube Kementerian Keuangan. “Konferensi Pers Realisasi dan Kinerja APBN 2023”
Fiskal Kementerian Keuangan. “Dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF)”
Data Explorer OECD. “Statistik Pendapatan – Negara-negara OECD: Tabel perbandingan”
Jakarta.diplo.de. “ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara)”
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). “Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2024”