Daftar Isi
6 min read

Mengenal Pajak Peredaran (PPe) dan Penerapannya

Tayang 28 Jul 2024
Diperbarui 27 September 2024
Ditulis oleh: Mekari Jurnal Fitriya
Pajak Peredaran atau PPe
Mengenal Pajak Peredaran (PPe) dan Penerapannya

Pajak Peredaran atau PPe merupakan salah satu periode penerapan pajak konsumsi yang ada Indonesia sebelum penerapan PPN.

Pahami bentuk pemajakan PPe ini sebagai pengetahuan dasar perubahan dari penerapan pajak atas konsumsi ini di Indonesia. Mekari Klikpajak akan mengulasnya untuk Anda.


Apa itu Pajak Peredaran (PPe)?

Pengertian PPe atau Pajak Peredaran adalah pajak yang dipungut atas penyerahan barang-barang yang berada dalam peredaran bebas dan dari jasa, yang dilakukan di Indonesia oleh pengusaha dalam kalangan perusahaan.

Definisi tersebut tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran, yang diubah dengan UU Drt No. 38 Tahun 1950 dan UU Drt No. 18 Tahun 1951, sebagai dasar hukum pengenaan jenis pajak ini.

Istilah Pajak Peredaran dikenal sebagai PPe 1950 sebagai pelengkap atas pengenaan pajak konsumsi berupa Pajak Pembangunan (PPb 1) yang berlaku sebelumnya dalam UU No. 14 Tahun 1947.

Penerapan PPe ini pun bergeser pada Pajak Penjualan (PPn) mulai 1951, yang pada akhirnya berganti dengan istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sejak 1983 dan berlaku hingga sekarang.

Jenis-Jenis Pajak Peredaran (PPe)

Merujuk Pasal 4 UU Drt 12/1950, yang menjadi objek pajak peredaran atau objek PPe adalah:

  • PPe Barang: Semua penyerahan barang yang berada di peredaran bebas.
  • PPe Jasa: Semua kegiatan pemberian jasa di Indonesia.

Sedangkan dalam penjelasan umum atas UU tersebut, barang-barang yang tidak dikenakan pajak peredaran yakni barang yang berada dalam daerah pabean, dari luar negeri, atau dari daerah Indonesia yang tidak termasuk daerah pabean.

Barang yang Tidak Dikenakan PPe

Sedangkan berdasarkan Pasal 22 UU Drt 12/1950, objek yang tidak dikenakan pajak peredaran di antaranya:

  1. Penyerahan kapal (bukan kapal pesiar).
  2. Penyerahan barang-barang untuk dikeluarkan langsung ke luar negeri.
  3. Penyerahan barang-barang dengan percuma dalam hal-hal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  4. Penyerahan uang, meterai dan merek pajak Indonesia yang dikeluarkan dari pihak pemerintah yang belum terpakai, surat berharga (termasuk obligasi, surat sero dan lain-lain efek).
  5. Penyerahan emas pada atau De Javasche Bank menurut cara peraturan yang ditetapkan dalam atau dengan kuasa Ordonansi-Devisen.
  6. Pengadaan, penyerahan dan pelepasan hak-turut dalam perseroan dan perkumpulan.
  7. Pemberian kredit, penyerahan, penguangan dan pembayaran tagihan uang, termasuk peredaran-giro, peredaran-cek dan peredaran rekening-koran.
  8. Asuransi.
  9. Undian.
  10. Jasa dalam perhubungan pos, telegrap dan telepon dan jasa tertentu dari perusahaan pengangkutan untuk kepentingan perhubungan tersebut.
  11. Siaran radio pemerintahan dan dari perkumpulan dan badan yang berhak.
  12. Pengangkutan orang dan barang-barang dari tempat di luar negeri melalui Indonesia ke tempat luar negeri, dan juga pengangkutan orang dan barang-barang dari tempat di Indonesia ke tempat luar negeri atau sebaliknya, satu dan lain jika ternyata dari surat pengangkuran ternyata bahwa tempat yang dituju itu pada permulaan pengangkutan telah ditetapkan.
  13. Persewaan dan penebasan, juga penyerahan dan pelepasan sewa dan tebasan dari barang tetap, kecuali: (a) mesin dan alat perusahaan, (b) kamar yang telah diperaboti dalam hotel, pensiun dan rumah penginapan semacam itu.
  14. Pemberian makan, tempat tinggal dan lain-lain upah berwujud barang menurut kebiasaan kepada orang yang bekerja pada pengusaha.
  15. Jasa yang dibuat oleh pejabat agama dalam jabatannya.
  16. Pemberian pengajaran oleh yayasan dan perkumpulan yang mempunyai hak badan hukum, dalam hal-hal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Kemudian jasa dan barang yang tidak dikenakan dikenakan PPe ditambah, melalui Pasal 22a UU Drt No. 38 Tahun 1950 di antaranya:

  1. Penyerahan padi, gabah dan beras, jagung, sago, gaplek, sayur dan buah-buahan yang baru dipetik, roti, susu baru, garam. Bambu, kayu bakar, arang, minyak tanah, gas, elektris, obat-obatan (medicamenten), surat kabar harian, majalah mingguan dan barang-barang yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  2. Penyerahan barang-barang dan melakukan jasa-jasa dalam rumah makan dan penginapan, jika pembayaran-pembayaran dalam hal itu dipungut pajak menurut Pasal 2 dari UU Pajak Pembangunan 1.
  3. Penyerahan hasil tembakau, yang dikenakan cukai menurut Ordonansi Cukai tembakau Staatsblad 1932 No. 517.
  4. Jasa-jasa dokter, dokter gigi dan bidan.

Baca Juga: Panduan Cara Menghitung PPN 11%

Tarif Pajak Peredaran (PPe)

Penyerahan barang dan jasa kena pajak peredaran dikenakan tarif PPe sebesar 2% atas setiap penyerahan barang atau jasa.

Sedangkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas pajak peredaran adalah harga barang.

Penyerahan barang-barang yang dikenakan pajak peredaran dihitung atas dasar harga-jual.

Sedangkan penyerahan jasa kena pajak peredaran dihitung atas dasar penggantian.

Dampak PPe

Secara umum, mengingat adanya penambahan nilai yang harus dibayarkan seiring pengenaan PPe, maka harga jual barang atau penyerahan jasa menjadi bertambah senilai hasil pengalian harga barang terhadap persentase tarif PPe,

Sedangkan bagi perekonomian atau penerimaan negara, pajak peredaran memberikan dampak terhadap bertambahnya penerimaan negara yang pada waktu itu pemerintahan Indonesia baru berjalan 5 tahun sejak kemerdekaan.

Pengenaan PPe

Pengenaan pajak peredaran dilakukan dengan dua cara pemungutan, yakni:

  1. Sekaligus

Pemungutan pajak peredaran sekaligus artinya pengenaan PPe hanya sekali pada hasil akhir dan pemungutan dapat dilakukan pada saat penyerahan oleh produsen ke pengecer atau distributor.

  1. Setiap ada pemindahan

Pemungutan PPe yang dilakukan setiap terdapat pemindahan artinya pajak peredaran dipungut secara berkali-kali pada seluruh tingkat peredaran di lajut produksi maupun distribusi yang dilakukan setiap penyerahan barang.

Namun setiap kali penyerahan barang-barang tersebut tidak dilakukan penyesuaian maupun pengurangan pemungutan.

Baca Juga: Hal Dasar yang Wajib Diketahui tentang PPnBM

Kewajiban Wajib Pajak Pemungut Pajak Peredaran

Pajak peredaran dipungut oleh pengusaha yang melakukan penyerahan atau penjualan barang atau jasa yang menjadi objek PPe yang telah ditunjuk inspektur.

Merujuk Pasal 18 UU Drt 18/1950, pengusaha yang ditunjuk dalam hal ini pemungut PPe wajib melunaskan pajaknya dengan penyetoran di Kas Negeri dalam 25 hari sesudah akhir tribulan takwim, selama mana pajak itu terutang.

Penyetoran pelunasan pajak ke kas negara secara manual karena pada masa itu belum ada internet banking dan sejenisnya.

Begitu juga pelaporan PPe harus dilakukan setiap masa pajak dan langsung datang ke kantor pajak.

Ketentuan penyampaian PPe ini tertuang dalam Pasal 19 UU Drt 12/1950, bahwa pengusaha yang ditunjuk wajib memberitahukan jumlah pajak yang harus dikenakan pajak kepada inspektur dalam tempo 1 bulan sesudah tribulan takwim berakhir.

Dalam Pasal 12 UU Drt 18/1950, wajib pajak yang melanggar ketentuan tentang pajak peredaran, seperti sengaja memasukkan surat pemberitahuan tidak benar atau kurang lengkap yang menyebabkan kerugian negara, akan dikenakan sanksi berupa dihukum penjara setinggi-tingginya setahun atau didenda maksimal Rp30.000.

Pajak Peredaran Sudah Tidak Berlaku

Pemungutan pajak konsumsi berupa PPe pada akhirnya diubah seiring berjalannya waktu dan terus disempurnakan.

Sebab perlakuan pemungutan setiap kali terdapat pemindahan barang yang membuat pengenaan pajaknya berkali-kali, telah membuat penambahan pada kalkulasi harga pokok barang.

Sehingga penerapan PPe 1950 berakhir pada 1 Oktober 1951. Hingga pada akhirnya pajak atas barang dan konsumsi sekarang ini dikenal sebagai PPN yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983.

Kesimpulan

Pajak Peredaran (PPe) merupakan pajak konsumsi atau pajak pemakaian yang habis dipakai di Indonesia dan diterapkan sebelum berlakunya era pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti yang dikenal saat ini.

Setidaknya penerapan pajak konsumsi di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan dalam beberapa dekade sebelum akhirnya menetapkan penerapan PPN mulai 1983.

Beberapa periode penerapan pajak konsumsi di Indonesia di antaranya Pajak Pembangunan (PPb I), PPe pada 1950, PPn atau Pajak Penjualan pada 1951, dan PPN yang berlaku hingga sekarang.

Tarif pajak yang dikenakan juga mengalami perubahan seiring perkembangan pemungutan pajak atas konsumsi ini.

Kendati sekarang ini sudah ditetapkan pajak konsumsi merupakan PPN, setidaknya mengetahui asal usul dan bagaimana proses penerapannya selama ini mulai dari PPb 1 hingga PPe penting diketahui sebagai pengetahuan umum tentang perpajakan yang pernah berlaku di Indonesia.

Referensi

Database Peraturan JDIH BPK. Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran

Database Peraturan JDIH BPK. Undang-Undang Darurat No. 38 Tahun 1950 tentang Tambahan dan Perubahan UU Pajak Peredaran 1950

Database Peraturan JDIH BPK. Undang-Undang Darurat No. 18 Tahun 1951 tentang Membatasi Masa Berlakunya UU Pajak Peredaran 1950

Database Peraturan JDIH BPK. Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Kategori : Edukasi

Aplikasi Pajak Online Mekari Klikpajak

Ikuti akun media sosial resmi dari Mekari Klikpajak

Aplikasi Pajak Online Mekari Klikpajak

Ikuti akun media sosial resmi dari Mekari Klikpajak
WhatsApp Hubungi Kami