Industri perdagangan atau biasa disebut usaha ritel khususnya supermarket di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya supermarket yang memperluas daerah pemasarannya hingga ke seluruh wilayah Indonesia. Usaha ritel secara umum adalah sebuah kegiatan usaha menjual aneka barang atau jasa untuk konsumsi langsung dan tidak langsung.
Dalam mata rantai perdagangan, usaha ritel ini merupakan bagian terakhir dari proses distribusi suatu barang atau jasa dan bersentuhan langsung dengan konsumen. Usaha ritel di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu ritel modern dan ritel tradisional. Ritel modern sebenarnya adalah pengembangan dari ritel tradisional, yang praktiknya mengaplikasikan konsep modern, pemanfaatan teknologi, dan mengakomodasikan perkembangan gaya hidup di masyarakat.
Seiring dengan perkembangan usaha di bidang ritel tersebut, dibutuhkan adanya peningkatan wawasan dan kemampuan para pemeriksa pajak untuk menggali potensi dan memaksimalkan penerimaan negara dari sektor pajak. Berikut ini aspek pajak usaha ritel yang harus diketahui dan dipahami.
Sejarah Singkat Tentang Usaha Ritel Modern
Sejarah usaha ritel modern di indonesia sebenarnya sudah di mulai sejak tahun 1960-an. Dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun kemudian, usaha ritel di Indonesia bisa dikatakan berkembang dalam level yang sangat rendah. Hal ini bisa dikaitkan dengan kebijakan ekonomi Presiden Soeharto di awal masa pemerintahan Orde Baru, yang lebih banyak membangun investasi di bidang eksploitasi hasil alam yaitu tambang dan kayu.
Namun di awal tahun 1990-an, usaha ritel di Indonesia mulai mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan mulai beroperasinya salah satu perusahaan ritel besar dari Jepang yaitu SOGO. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 99/1998, yang menghapuskan larangan investor dari luar untuk masuk ke dalam usaha ritel di indonesia, perkembangannya menjadi semakin pesat. Saat ini, muncul begitu banyak jenis usaha ritel modern diantaranya adalah sebagai berikut:
-
- Minimarket
- Supermarket
- Hypermarket
- Specialty store/convinience store
- Department Store
Aspek Pajak Usaha Ritel Modern yang Berlaku di Indonesia
Dalam perpajakan domestik, usaha ritel digolongkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) baik yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) maupun penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Ditjen Pajak Nomor 58 Tahun 2010 pada Pasal 1 Ayat (1) dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 pada Pasal 20 Ayat (3).
-
Pengenaan PPN dan PPh bagi Industri Perdagangan
Terdapat aturan yang mengatur tentang penyesuaian batasan omzet yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Batasan omzet bagi pengusaha kecil yang dikenakan PPN saat ini adalah Rp4,8 Milyar sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197 Tahun 2013. Usaha ritel yang termasuk dalam kriteria pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sedangkan bagi usaha ritel yang telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukannya.
Terkait kewajiban PPh, usaha ritel yang masuk dalam kategori pengusaha kecil (tidak dikukuhkan sebagai PKP) memiliki kewajiban membayar PPh Final sebesar 1% dari jumlah peredaran brutonya setiap bulan. Sedangkan bagi usaha ritel yang masuk dalam kategori usaha menengah hingga besar dikenakan tarif PPh tersendiri.
-
Faktur Pajak Industri Perdagangan
Usaha ritel yang tergolong sebagai PKP berkewajiban membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan BKP dan JKP. Faktur pajak yang dimaksud dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan/pembayaran lain yang sejenis. Namun, dengan karakteristik usaha ritel yang memiliki jumlah transaksi penyerahan barang yang relatif banyak dengan nilai relatif kecil (jumlah satuannya kecil) menyebabkan peritel mengalami kesulitan apabila diperlakukan sama seperti PKP lainnya dalam pembuatan dan penatausahaan faktur pajak. Oleh sebab itu, peritel dapat menerbitkan faktur pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli dalam setiap transaksinya. Sebagaimana ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 pada Pasal 20 ayat (1).
-
Withholding Tax
Dalam kesehariannya, usaha ritel dengan skala usaha yang cukup besar juga tidak terlepas dari urusan pemotongan dan pemungutan PPh secara withholding. Misalnya, atas pembayaran kepada penyedia jasa legal, akuntansi, dan lain sebagainya peritel wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah imbalan bruto yang tidak termasuk PPN yang dibayarkan kepada penyedia jasa. Peritel juga wajib memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji kepada karyawan yang besar penghasilannya telah melebihi batas PTKP sebesar Rp54 Juta per tahunnya. Kewajiban lainnya adalah memotong PPh Pasal 4 Ayat (2) atas pembayaran biaya sewa gudang dan toko sebesar sebesar 10% dari jumlah bruto biaya sewa.
Perlakuan Perpajakan dalam Usaha Ritel
- Untuk pembelian atau pengadaan persediaan, pajak yang terkait adalah PPN Masukan. Atas pembelian barang dagangan, cara menghitung pajak masukan adalah PPN Masukan yang dibayarkan tidak boleh dikreditkan sepanjang perusahaan menghitung PPN Keluaran dengan tarif efektif 2%. Namun, pembelian barang yang bukan merupakan barang dagangan PPNnya dapat dikreditkan.
- Untuk pembelian atau pengadaan, pajak yang terkait adalah PPh Badan. Pembelian barang dagangan merupakan unsur yang harus diperhitungkan dalam menghitung COGS, yang merupakan pengurang utama atas Penghasilan Kena Pajak (PKP).
- Sedangkan untuk kerugian penurunan nilai, pajak yang terkait adalah PPh Badan. Kerugian yang timbul dari estimasi penghitungan tidak dapat diperlakukan sebagai pengurang PKP selama barang dagangan masih dalam persediaan.
- Untuk kerugian penurunan nilai atas komitmen pembelian, pajak yang terkait juga PPh Badan. Mengingat kerugian tersebut merupakan antisipasi atas kemungkinan yang mungkin timbul jika kontrak dieksekusi. Maka atas kerugian tersebut juga tidak dapat dibebankan sebagai pengurang PKP.
- Untuk konsultan (penilai/appraisal, pengelola persediaan, dan legal), pajak yang terkait adalah pajak PPh 23.
- Biaya sewa gudang, pajak yang terkait adalah PPh Pasal 4 (2).
- Biaya sewa outlet, pajak yang terkait adalah PPh Pasal 4 (2).
- Sedangkan untuk biaya renovasi outlet dan desain interior, pajak yang terkait adalah PPh Pasal 4 (2). Terdapat kewajiban PPh pasal 4 (2) jika pelaksana renovasi dan desain interior diserahkan kepada pihak ketiga.
- Jika outlet dimiliki sendiri, maka biaya renovasi yang signifikan akan dikapitalisir dan oleh karenanya disusutkan sesuai dengan umur gedung/outlet tersebut. Jika outlet tersebut tidak dimiliki sendiri, maka biaya penyiapan termasuk dalam biaya ditangguhkan yang akan dibebankan dalam beberapa periode.
Itulah beberapa informasi tentang pajak usaha ritel yang berlaku di Indonesia, khususnya usaha ritel modern seperti supermarket dan hypermarket. Hal ini penting untuk diketahui baik bagi para pelaku usaha ritel maupun pemeriksa pajak. Agar mereka dapat memaksimalkan penerimaan negara dari sektor pajak usaha ritel modern.