Daftar Isi
4 min read

Pajak Toko Kelontong, Ini Penjelasan dan Contoh Perhitungannya

Tayang 06 Nov 2018
Last updated 19 Juli 2024
Pajak Toko Kelontong, Ini Penjelasan dan Contoh Perhitungannya

Toko kelontong adalah salah satu bentuk usaha yang bisa Anda temukan di mana saja. Tidak mengherankan, mengingat jenis usaha ini bisa dibilang usaha yang paling mudah dilakukan oleh siapa saja. Selain mudah, permintaan akan kebutuhan pokok juga tidak akan pernah berhenti, di mana pun Anda berada. Sehingga, keberadaan toko kelontong akan dengan mudah Anda jumpai di mana saja, bahkan hingga pelosok daerah.

Toko Kelontong Merupakan UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan dan atau Badan Usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan, dengan kriteria ditentukan berdasarkan besaran hasil penjualan tahunan, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Usaha Mikro memiliki kekayaan bersih kurang dari Rp50 Juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan kurang dari Rp300 Juta.
  2. Usaha Kecil memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 Juta sampai dengan paling banyak Rp500 Juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 Juta sampai dengan paling banyak Rp2,5 Miliar.
  3. Usaha Menengah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500 Juta sampai dengan paling banyak Rp10 Miliar tidak termasuk tanah dan bangunan atau, memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2,5 Miliar sampai dengan paling banyak Rp50 Miliar.

Dengan demikian, perlakuan pajak untuk toko kelontong akan sama seperti UMKM pada umumnya. Yaitu dengan menggunakan skema Pajak Penghasilan (PPh) Final. Besaran pajak akan dihitung dengan cara mengalikan besaran peredaran bruto (omzet) dalam satu Tahun Pajak. Skema ini hanya bisa digunakan bagi toko kelontong yang memiliki omzet kurang dari Rp4,8 Miliar dalam satu Tahun Pajak.

Skema tarif yang digunakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan ini hadir untuk menggantikan peraturan sebelumnya yakni PP Nomor 46 Tahun 2013. Salah satu yang menjadi sorotan adalah adanya penurunan tarif PPh Final yang semula 1% dari omzet menjadi 0,5% dari omzet selama satu Tahun Pajak.

Contoh Perhitungan Pajak Toko Kelontong

Contoh 1

Tuan Bono memiliki usaha toko kelontong. Pada Tahun Pajak 2020, Tuan Bono memperoleh omzet sebesar Rp1,2 Miliar dalam satu Tahun Pajak. Karena batasan peredaran bruto yang diterima oleh Tuan Bono dari usaha toko kelontong tidak melebihi Rp4,8 Miliar dalam satu Tahun Pajak, maka penghasilan dari usaha toko bahan bangunan dikenai Pajak Penghasilan Final yakni 0,5% dari omzet, dan harus dibayarkan setiap bulannya maksimal pada tanggal 15 bulan berikutnya.

Jika dihitung rata-rata, maka omzet Tuan Bono dalam satu bulan adalah Rp100 Juta. Dengan demikian, besaran PPh Final yang harus dibayarkan adalah:

Rp100 Juta x 0,5% = Rp500.000,-.

Contoh 2

Tuan Bimo memiliki usaha toko kelontong di beberapa wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan, diketahui omzet di tahun 2019 adalah sebagai berikut:

  • Wilayah A sebesar Rp1.000.000.000 (Satu Miliar Rupiah)
  • Wilayah B sebesar Rp2.000.000.000 (Dua Miliar Rupiah)

Dengan demikian, Tuan Bimo pada 2020 akan dikenai skema PPh Final 0,5% karena total peredaran bruto dari seluruh toko kelontong di tahun 2019 kurang dari 4,8 Miliar. Adapun perhitungannya adalah sebagai berikut:

Jika omzet rata-rata per bulan Rp250 Juta, maka PPh Final yang harus dibayarkan per bulan adalah:

Rp250 Juta x 0,5% = Rp1.500.000,-

Namun, apabila Tuan Bimo ternyata memiliki tempat usaha lain, misal di wilayah C dengan omzet sebesar Rp3.000.000.000,- (Tiga Miliar rupiah) maka Tuan Bimo pada tahun 2020 tidak dapat dikenai PPh Final 0,5%, karena omzet dari seluruh tempat usaha pada tahun 2019 melebihi Rp4,800.000.000,- (Empat Miliar Delapan Ratus Juta Rupiah). Dengan demikian, apabila omzet melebihi Rp4,8 Miliar maka akan menggunakan skema tarif normal.

Contoh 3

Tuan Jamie memiliki toko kelontong dan dikenai PPh Final sejak Tahun Pajak 2019, karena peredaran bruto Tuan Jamie pada tahun 2018 kurang dari Rp4,8 Miliar. Pada bulan Agustus tahun 2109, peredaran bruto Tuan Jamie telah mencapai Rp5 Miliar.

Meskipun peredaran bruto Tuan Jamie telah melebihi Rp4,8 Miliar pada Agustus, Tuan Jamie tetap dikenai PPh Final dengan tarif 0,5% sampai dengan akhir Tahun Pajak 2019. Sedangkan penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan Jamie pada Tahun Pajak 2020 dan seterusnya, akan dikenai PPh dengan ketentuan umum berdasarkan tarif Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Demikian penjelasan lengkap tentang pajak toko kelontong juga contoh-contoh perhitungannya. Semoga dapat membantu Anda sebagai Wajib Pajak yang berkeinginan membuka usaha toko kelontong seperti ini.

Kategori : Edukasi
Ikuti akun media sosial resmi dari Mekari Klikpajak
Ikuti akun media sosial resmi dari Mekari Klikpajak
WhatsApp Hubungi Kami