Pemerintah nampaknya masih kebingungan untuk menentukan mekanisme penarikan pajak bisnis online atau e-commerce yang paling efektif. Kenyataannya, hingga tulisan ini dibuat belum ada aturan tentang mekanisme pemungutan pajak e-commerce. Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jendral Pajak pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Atas Transaksi E-Commerce, namun surat edaran ini hanya memuat informasi general terkait sistem perpajakan e-commerce.
Memasuki era serba digital seperti sekarang ini juga telah mengubah cara-cara dalam berbisnis, dari yang semula konvensional (offline) menjadi serba online. Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, pemerintah belum mampu menyesuaikan diri secara cepat terhadap perubahan yang terjadi. Aturan-aturan lama tentang pajak yang dulu dianggap sesuai, kenyataannya kini sudah tidak relevan.
Pajak E-Commerce di Beberapa Negara
1. Uni Eropa
Dalam kurun waktu 2008 sampai 2016, pertumbuhan pendapatan perusahaan e-commerce menanjak hingga 32 persen. Hal tersebut berbanding terbalik dengan perusahaan retail konvensional yang hanya satu persen.
Melihat tren perdagangan online yang kian meningkat, Uni Eropa menganggap perlunya suatu regulasi pajak baru yang relevan. Sebagai organisasi kawasan, Uni Eropa tidak menarik pajak, baik pajak pertambahan nilai maupun pajak korporasi.
Uni Eropa hanya menyediakan regulasi untuk negara-negara yang tergabung di dalamnya. Negara-negara tersebut harus mengikuti regulasi pajak Uni Eropa, meskipun masing-masing persentase Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda.
Pada 2015, Uni Eropa memperkenalkan skema khusus bernama mini one stop shop (MOSS). MOSS difungsikan untuk mempermudah perusahaan dalam mengelola penarikan pajak dari konsumen. MOSS merupakan layanan online yang menyediakan platform bagi perusahaan untuk mematuhi regulasi perpajakan pertambahan nilai di negara tempat barang diperdagangkan, sehingga perusahaan tidak perlu memikirkan urusan administratif yang rumit.
2. Australia
Pada 21 Juni 2017, parlemen Australia mengesahkan perluasan penerapan pajak barang dan jasa ke sektor jual-beli online barang dan jasa impor bernilai rendah. Dalam aturan tersebut ditetapkan ambang batas bawah nilai transaksi jual beli online yang akan dikenai pajak, yakni sebesar AUD 10 ribu. Artinya, semua transaksi e-commerce yang bernilai di atas AUD 10 ribu akan dikenai pajak barang dan jasa sebesar 10 persen dari total nilai transaksi.
Australia juga mewajibkan perusahaan-perusahaan e-commerce dengan nilai pendapatan di atas UAD 75 ribu per tahun untuk melakukan registrasi ke kantor pajak Australia, serta wajib menarik pajak ke konsumen sesuai aturan perpajakan yang berlaku di Australia.
3. Korea Selatan
Setiap perusahaan yang menjual barang atau jasa di Korea Selatan harus melakukan registrasi pajak pertambahan nilai ke dalam sistem pelayanan elektronik perpajakan. Korea Selatan tidak menentukan ambang batas transaksi, maka setiap perusahaan wajib melakukan registrasi, berapapun nilai transaksinya.
Berdasarkan aturan di Korsel, meskipun suatu perusahaan tidak memiliki perwakilan bisnis di4 negara tersebut, perusahaan tersebut akan tetap dianggap berada di wilayah Korsel, sehingga harus mengikuti regulasi pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Hal ini juga berlaku apabila barang yang dijual tidak memiliki wujud fisik.
Pajak tersebut harus dibayarkan setiap tiga bulan ke Woori Bank, bank yang melayani perpajakan Korsel. Pajak yang dibayarkan juga harus menggunakan mata uang Won.
4. India
India menerapkan jenis pungutan lain di luar Pajak Penghasilan (PPh). India menerapkan Equalization Levy Rules (EQL). Berdasarkan sistem EQL, subjek pajak dalam negeri atau Badan Usaha Tetap (BUT) subjek pajak luar negeri di India dikenai pungutan sebesar 6 persen dari nilai kotor yang dibayarkan atas transaksi antar bisnis (business-to-business) yang melebihi batas tertentu. Meskipun demikian, sistem ini memiliki kelemahan karena EQL dikategorikan sebagai PNBP, maka pengenaan pungutan EQL tidak bisa meningkatkan tingkat kepatuhan pajak.
Selain itu, India juga menerapkan pungutan bagi jasa periklanan online yang dapat ditentukan di kemudian hari. Langkah ini dinilai bisa mengantisipasi penghindaran pajak.
5. Tiongkok
Tiongkok memiliki sistem perpajakan berdasarkan rentang waktu tertentu. Negara ini menerapkan jadwal pengenaan PPN terhadap beberapa barang yang dijual via e-commerce. Sebagai contoh, suatu barang akan dikenakan PPN 2 persen selama sekian tahun, sementara barang lain bisa dikenai PPN 5 persen dalam sekian periode. Pada akhirnya, seluruh barang ini akan berangsur mendapatkan nilai PPN 1o persen.