Sebagai pengusaha yang bergerak di bidang properti seperti rumah, ruko, apartemen dan sebagainya, Anda perlu memahami berbagai macam jenis pajak yang nantinya akan berkenaan dengan bisnis properti yang Anda lakukan. Hal ini penting mengingat bisnis properti bukan hanya tentang harga dan legalitasnya saja, melainkan Anda juga harus memahami dengan baik aspek-aspek perpajakan yang berhubungan.
Pajak perusahaan properti cukup serius digarap oleh pemerintah, mengingat nilainya yang cukup besar. Oleh karena itu, perlu Anda pahami dengan baik agar nantinya tidak menjadi bumerang di lain hari atau membuat risiko yang lebih besar yaitu Anda akan dianggap menggelapkan uang pajak.
Anda akan dianggap melakukan penggelapan pajak atas properti apabila dilakukan dengan sengaja. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tax evasion dan merupakan tindakan yang melawan hukum. Jika melawan hukum artinya Anda harus siap atas segala sanksi atau hukuman yang mungkin diterima.
Namun sebelum memahami lebih jauh tentang tax evasion pajak perusahaan properti, ada dua istilah penting yang harus Anda ketahui terlebih dahulu yakni:
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar. Jika tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.
Dalam bidang properti, NJOP merupakan nilai yang ditetapkan negara sebagai dasar pengenaan pajak bagi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Tingkat perkembangan suatu wilayah menjadi salah satu tolak ukur nilai jual properti. Misalnya harga properti di kota besar tentu akan lebih mahal daripada harga di perdesaan. Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menetapkan NJOP setiap tiga tahun sekali. Namun, di daerah tertentu dengan perkembangan yang sangat pesat mengakibatkan nilai jual properti naik secara signifikan, sehingga penetapan NJOP dapat dilakukan satu tahun sekali.
NJOP ditetapkan per meter persegi dan seringkali diasumsikan dengan harga terendah dari suatu properti. Biasanya properti dijual dengan harta 1,5 kali sampai dengan 2 kali lipat dari harga NJOP.
Kelemahan NJOP
NJOP memiliki kekurangan jika dilihat dari sisi pajak perusahaan properti. Sebagai contoh, ada dua bidang tanah di suatu kawasan, satu bidang tanah terletak di pinggir jalan, sedangkan bidang yang lain berada di dalam gang. Dilihat dari pajak keduanya memiliki besaran pajak yang sama, tetapi jualnya akan jelas berbeda. Harga tanah di pinggir jalan lebih mahal karena dinilai lebih menguntungkan.
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
NJKP atau assessment value, adalah besaran nilai jual objek yang akan dimasukkan ke dalam perhitungan pajak terutang (Pasal 6 Ayat (3) UU PBB), ini berarti NJKP adalah bagian dari NJOP.
NJKP berada di angka yang sama dengan nilai jual dan bisa lebih rendah atau lebih tinggi dari nilai jual. Besaran NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% dari nilai jual, dan setinggi-tingginya 100% dari nilai jual.
Besarnya NJKP adalah 40% sebagai dasar perhitungan pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (3) Undang-Undang Nomor Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan Perubahannya.
Tentang Tax Evasion
Ketentuan nilai pajak perusahaan properti dapat menggunakan harga transaksi pasar properti atau nilai NJOP jika tidak diketahui harga pasaran yang wajar. Nilai transaksi tersebut pasti akan berbeda dengan nilai NJOP karena NJOP hanya menghitung harga tanah sesuai pasaran dan harga bangunan sesuai dengan bahan bangunan dan upah para pekerja.
Sedangkan dalam transaksi, bisanya ada aspek lain seperti keuntungan dan emotional price. Kedua unsur inilah yang biasanya mendongkrak harga properti melebihi nilai tanah dan bangunannya. Sebagai contoh, transaksi satu kavling tanah di kawasan SCBD Jakarta Selatan seluas 9.800 meter dijual dengan harga Rp193 Juta per meter. Harga ini jauh melampaui NJOP, bahkan nilai taksirannya hanya di kisaran Rp112 Juta per meter.
Contoh Tax Evasion
Fakta mengejutkan muncul dari sidang kasus simulator SIM (18/06/2013), di mana ada penjualan rumah mewah seharga Rp7,1 Miliar di Semarang, namun pada akta notaris hanya tertulis Rp940 Juta atau ada selisih harga Rp6,1 Miliar. Atas transaksi ini ada potensi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang seharusnya disetor sebesar 10 persen dari Rp6,1 Miliar atau Rp610 Juta. Selain itu, ada PPh (Pajak Penghasilan) Final sebesar 5 persen dari Rp6,1 Miliar atau Rp300 Juta. Sehingga ada potensi total kekurangan pajak senilai Rp910 Juta. Jika developer atau perusahaan ini telah menjual ratusan unit rumah mewah, kerugian negara dapat mencapai puluhan Miliar rupiah dari satu proyek perumahan.
Hal tersebut sengaja dilakukan untuk menyembunyikan nilai omzet guna penghindaran atas pajak (tax evasion) properti. Hal ini tergolong sebagai tindakan kriminal dan akan ditindak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.